Sabtu, 30 Agustus 2008

Senin, 25 Agustus 2008

Inhil ku


Perang telah dimulai. Di setiap sudut kota Tembilahan telah terpancang berbagai macam atribut kampanye. Baik atribut partai ataupun kandidat Bupati dan wakilnya. Bermacam-macam strategi mereka lancarkan. Dari cara kuno seperti bagi-bagi duit, seragam sampai cara yang termasuk baru di Indragiri Hilir ini, baliho besar dengan foto sang kandidat. Seru juga melihatnya. Tembilahan jadi lebih berwarna-warni, semarak.

Masing-masing kubu mengklaim didukung oleh kelompok ini, pemuda itu, masyarakat sana. Masing-masing kubu tidak mau kalah. Kalau hari ini kubu A pasang spanduk : Kami pemuda jln. M.Boya dukung A, besoknya muncul lagi spanduk : Kami pemuda jln. M.Boya tengah dukung B. Lucu rasanya, sejak kapan jln. M. Boya dibagi-bagi? Lebih lucu lagi ketika saya membaca spanduk : Kami pemuda jembatan 2 dukung B. Sebagai salah satu orang muda di wilayah ini saya bingung, kapan dan bila saya mengatakan mendukung beliau?

Tidak hanya perang spanduk, perang posko juga berlangsung. Ketika salah satu kubu bangun posko relawan di sudut jalan Diponegoro, kubu lain seperti kebakaran jenggot. Bangun juga posko disekitar posko sebelumnya. Bahkan kalau memungkinkan bangun disebelahnya. Sebagai penonton saya heran, apa perlu seperti itu? Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk posko seperti ini, namun fungsinya boleh dibilang tidak banyak. Jika telah selesai masanya, toh akan dibiarkan begitu saja. Masih bagus kalau nantinya digunakan sebagai poskamling. Tapi sekarang saja lebih banyak digunakan sebagai tempat kongkow-kongkow sambil main judi.

Coba kalau uang segitu digunakan pada hal-hal yang lebih berguna, pasar sembako murah misalnya. Sambil menyelam minum air, sambil promosi sekalian membantu rakyat. Dengan begini imej sang kandidat bisa lebih baik. Walaupun kita tahu, semuanya sama saja, hanya beda tipis antara kandidat satu dengan yang lain.

Meskipun demikian, saya masih bisa maklum dengan cara seperti ini, masih bisa diterima oleh hati meskipun berat. Tapi ternyata ada kandidat lain yang memakai cara yang tidak etis. Katanya PNS harus netral, tapi kok justru kepala dinasnya yang menekan bawahannya supaya mendukung kandidat itu? Ada cerita dari seorang teman, kepala dinasnya pendukung kubu kuning, mewajibkan setiap bawahannya mencari setidaknya 5 nama untuk mendukung si kandidat. Kalau tidak dapat, maka akan dimutasikan untuk PNS, atau dipecat untuk yang masih honor. Tentu saja ancaman seperti ini menimbulkan ketakutan, terutama yang masih honor. Jaman susah cari kerja begini, mana boleh dipecat cuma karena 5 nama. Di sinilah muncul ide, sederhana tapi efektif untuk menghindari pemecatan. Tuliskan saja nama anak-anaknya yang masih SD atau nama kerabat yang telah meninggal, alamatnya tuliskan saja daerah-daerah pelosok yang jarang dikunjungi. Aman.

Apa benar demikian? Meski terlepas dari ancaman kepala dinas, tapi tidak akan terlepas dari jeratan rasa bersalah. Itu kalau masih punya hati nurani, kalau tidak yah…..

Sebenarnya ada cara yang paling mudah untuk menang. Tidak perlu mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk memperoleh dukungan. Bahkan mungkin tidak perlu keluar serupiahpun. Yaitu memiliki akhlak yang baik. Seperti yang terjadi di Malaysia. Tidak perlu berkampanye, namun rakyat telah mengetahui kebaikan akhlaknya dan dengan sukarela memilihnya.

Tapi rupanya cara inilah yang paling tidak mungkin dilakukan oleh para kandidat kita.

Ah, andai saja Indragiri Hilir memiliki seorang Umar bin Abdul Aziz……….

Sabtu, 23 Agustus 2008

Nikah............


Nikah, satu kata yang dimaknai dengan banyak arti, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Namun bukanlah definisi nikah itu yang ingin kuceritakan di sini karena telah banyak penulis yang membahasnya. Hanya ingin menceritakan perasaan terhadap kata satu itu.

Ketika masih umur belasan tahun, yang terbayang tentang nikah adalah hal-hal yang penuh keindahan, bunga-bunga bertaburan di mana-mana, bintang berkelap-kelip, kembang api berwarna-warni. Persis seperti cerita Cinderela dan Prince Charming. Benar-benar indah belaka. Happily Ever After. Tidak pernah terbersit sedikitpun ombak dan riak yang akan mengayun bahtera.

Seiring waktu, ketika kuliah bertemu dengan berbagai karakter dari berbagai daerah se-nusantara. Bayangan tentang nikahpun mengalami perubahan. Dari cerita, pengalaman ataupun obrolan teman-teman (yang sebagian besar kudengarkan sambil lalu), nikah sepertinya tak lebih dari pemuasan biologis saja. Jika demikian, kenapa mesti repot melalui proses yang cukup berbelit-belit hanya untuk melegalkan seks ? Meskipun atas nama cinta, toh ujung-ujungnya itu juga. Benar-benar tak bisa kutemukan jawabannya. Karena itu, kata tersebut kusimpan ditempat yang sangat jauh, terkunci rapat-rapat. Jika hanya untuk seks, bukankah bisa dilakukan tanpa nikah sebagaimana dilakukan pemuda jaman sekarang ? Sebenarnya banyak buku yang membahas tentang nikah, bernuansakan islami ataupun tidak. Namun karena tak ingin pusing, setiap buku yang bertemakan dan berjudul nikah tak pernah singgah ditanganku.

Lalu ketika jiwa tersentuh tarbiyah, pelan-pelan mulai kupahami tujuan nikah. Sangat pelan memang, padahal para murabbi telah menjelaskan dengan penuh semangat. Seseorang yang telah memilih jalan ini, hendaklah menjadikan pernikahannya sebagai ladang dakwah, tempat mencetak generasi rabbani, yang nantinya akan membawanya menuju Allah, Insya Allah. Kala itu, kuambil kotak penyimpanan “nikah” dan kubiarkan terbuka. Namun tanya lain telah hadir. Segudang kata “bagaimana” bermunculan. Bagaimana jika sang belahan jiwa tak seperti yang kuinginkan ?. Bagaimana jika ia tak bisa membimbingku di jalanNya, atau sebaliknya, bagaimana jika aku yang tak mampu bertahan ? Bagaimana……bagaimana……. Setumpuk kekhawatiran tak perlu yang memenuhi benak, sehingga akhirnya kotak itu kukesampingkan meski tetap kubiarkan terbuka.

Kini, 26 tahun sudah usiaku. Setahun telah lewat dari usia yang dianggap matang. Satu persatu kuterima undangan, teman nun jauh di sana ataupun teman dekat. Dari yang hanya bisa kuucapkan do’a lewat sms sampai yang bisa kuhadiri sebagai panitia. Tanya bertambah. Fenomena yang sebenarnya telah ada sejak dulu, menjadi trend lagi. Tak hanya disekitarku, tapi juga ditempat lain, seorang aktivis yang sangat aktif di medan dakwah ketika lajangnya, menghilang tanpa kabar ketika telah menikah. Dalam suatu diskusi, topik ini dibahas. Bermacam-macam alasan dikemukakan. Salah satunya, bisa jadi ‘menghilangnya’ sang aktivis sebenarnya merupakan suatu proses untuk menyiapkan generasi penerus yang, Insya Allah, lebih baik dari mereka. Namun hal ini bukanlah menjadi suatu pembenaran bagi sang aktivis untuk tidak terlibat dalam dakwah. Suatu pemikiran yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang dalam benakku.

Jika mereka di masa lajang memiliki kontribusi yang luar biasa dalam dakwah, masih menghilang ketika menikah, bagaimana denganku nanti ?? Akankah aku tetap dalam barisan atau justru lenyap tanpa bekas bak kabut, mengingat kontribusiku yang sangat minim pada dakwah ini? Hanya Allah yang mengetahui jawabnya.

Jumat, 22 Agustus 2008

Baarakallah.....

Alhamdulillah, malam ini satu lagi seorang sahabat telah melepas masa lajangnya menuju bahtera yang dinamakan rumah tangga. Baarakallahu laka wa baarakallahu'alaika wa jama'a bainakuma fii khaiir, tulus kuucapkan untukmu ya ukhti. Setengah dari dienmu telah terpenuhi, setengah lagi adalah perjuanganmu untuk memenuhinya. Semoga saja, dari kalian berdua akan lahir generasi rabbani, yang akan meneruskan perjuangan mujahid sejati menegakkan kalimahNya di muka bumi. Tetapi kesibukan mempersiapkan sang mujahid bukanlah alasan untuk keluar dari barisan dakwah. Meski Allah yang akan menjaga dakwah ini, adalah sangat rugi jika tak ikut serta.
Namun dibalik rasa bahagia tersimpan setitik sedih. Bukan iri karena belum menikah juga, bukan, bukan itu. Tapi rasa kehilangan, karena dirimu tak lagi sebebas dulu bersamaku. Ada seorang arjuna yang akan kau prioritaskan lebih dari siapapun. Ntah nanti, sms pun sempat dibalas atau tidak. Tentu saja rasa sedih seperti ini hanya dirasakan oleh seorang selfish sepertiku, jadi tidak perlu ditanggapi.


Abang Pulang....

Ada hal yang cukup menarik (bagiku) sepulang dari jalan-jalan tadi malam. Sebentuk wajah yang sangat ku kenal muncul dari balik pintu. Abang pulang…… setelah setahun di jogja. Ada seruak rasa yang muncul, setelah sekian lama kunantikan bahkan menyerahpun telah kulakukan, akhirnya abang pulang.

Tidak banyak yang berubah dari tampilannya, cuma tambah gendut dan makin terlihat pendek J. Masih suka sok pede, sok imut and pamer. Begitu datang langsung sidak kamarku, kutak-katik komputer, terutama penasaran banget dengan speedy yang baru ku pasang. Masih terobsesi dengan mendapatkan uang banyak dari internet rupanya.

Well, terlepas dari hobi (yang mirip banget denganku) dan obsesinya, aku sangat bersyukur atas kepulangannya. Insya Allah dengan hadirnya abang di tengah-tengah kami lagi akan membawa sedikit napas baru. Setidaknya bagiku. Selama ini cukup kebingungan memposisikan diri sebagai kepala rumah tangga, mengurus segala hal yang berkaitan dengan warisan Abah dan juga keperluan-keperluan lain. Hal-hal yang kadang menyesakkan dada, menjengkelkan dan bahkan mengaduk-aduk emosi. Dengan kepulangan abang ini, kuharap bisa sedikit bernapas lega, beban itu tidak lagi bertumpuk-tumpuk di punggungku. Akhirnya ada seseorang untuk berbagi tugas.

Allah memang Mahatahu. Beberapa hari ini aku memikirkan ibuku yang akan lebih sering lagi kutinggalkan, seiring dengan kegiatanku mengikuti Pemilu 2009. Maka Allah membukakan hatinya untuk pulang. Alhamdulillah, semoga kepemimpinan beliau membawa kebaikan bagi kami.Amin

The New Writer?

Assalamu'alaikum
Hai..hai.. New Day, New Sunshine, New Writer ????
He he he......kayaknya kalo disebut penulis ga pantes nih, cuma pengen meluahkan (ceilee) isi kepala. Sebenarnya dah lama banget pengen punya diary online, tapi dikarenakan gaptek ya gak jadi lah. But, last night i saw my friends's blogs, keren banget. Ga nyangka, jauh dari yang ku pikirkan tentang mereka selama ini. Sorry ya sis, ternyata kalian keren bangettss.

So...berbekal ketertakjuban (busyet deh bahasanya :) )itulah akhirnya aku memutuskan untuk coba nulis blog juga. Siapa tau dengan sering ngoceh (yang aneh-aneh aja dulu) lama-lama bisa nulis yang rada "berisi" seperti mereka para senior di dunia penulisan (persilatan kalee).

Setelah punya niat, langkah selanjutnya tentu saja buat blognya. Berhubung aku ga tau sama sekali caranya, langkah pertama yang kulakukan adalah jalan ke toko buku. Beneran jalan lho, ga naik motor seperti biasanya. Ketemu buku tentang blog di blogger and wordpress. Pengennya sih punya semua buku, biar lengkap referensinya, apalah daya duit ga cukup. Jadi kuputuskan beli yang mengupas Blogger, maksudnya sih supaya sama dengan temen2ku. Tapi ntar, kalo dah agak mahir baru deh coba yang lain lagi, Insya Allah.

Ternyata cukup gampang buat blog, yang ribetnya cuma pendaftaran akun. Masa sih alamat emailku ada yang punya? Padahal namaku kan ga pasaran. Setelah kutak-katik2 sekian menit, akhirnya ketemu juga masalahnya. Kali aja dulu, jaman aku punya niat punya blog tapi ga punya ilmunya, nekat isi akun secara membabi buta. Yah, paling tidak dapat diambil hikmahnya, ini buktinya kalo melakukan sesuatu tanpa ilmu lebih dulu, bingung sendiri.

After that, mulai deh jari-jari menari di atas keyboard. Saat ini baru cerita ini yang bisa kutuliskan. Next Story nyusul, Insya Allah.