Kamis, 20 November 2008

Perempuan Bukan Hiasan Rumah

“Perempuan Aceh melebihi kaum perempuan bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian mereka, dan tidak takut mati. Keberanian mereka melampaui kaum lelaki. Perempuan Aceh bukan sebagai perempuan yang lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka, tapi mereka juga tampil gigih di medan perang dan melahirkan anak-anak mereka di antara dua serbuan penyergapan”.

Demikian pengakuan dari seorang mantan anggota Marsose Belanda, Sentgraff dalam bukunya ‘De Atjeh’. Keperkasaan perempuan Aceh bukan hanya legenda semata, tapi sebuah fakta. Pada masa penjajahan Belanda, peran kaum perempuan di Aceh sangatlah menonjol. Cut Meutia, Pocut Baren, Cut Meurah Insen adalah figur perempuan Aceh yang tampil sebagai pemimpin. Cut Nyak Dhien, dalam kondisi fisiknya yang sudah tua dan kedua matanya buta, masih terus bergerilya dan berjuang mengusir penjajah Belanda.

Laksamana Keumalahayati, pemimpin angkatan laut kerajaan Aceh yang kesohor dan gigih memimpin armada perang melawan pasukan Portugis yang hendak menguasai Aceh di masa Sultan Alauddin Riayat Syah (1588-1604 Masehi). Dan, Po Cut Limpa, sebagai Ketua Dewan Rahasia (dinas intelijen kerajaan).

Pada abad ke 15 dimasa kerajaan pertama Samudra Pasai, peran perempuan sudah tampil di depan. Ratu Nahrasiah adalah Sultanah pertama di Aceh yang memimpin kerajaan Samudra Pasai menggantikan ayahnya Sultan Zainal Abidin. Di bawah kepemimpinan Ratu Nahrasiah inilah tradisi pimpinan oleh perempuan bermula di Aceh.

Sultanah Safiatuddin, putri Sultan Iskandar Muda, memimpin kerajaan Aceh tahun 1614-1675 M setelah Sultan Iskandar Tsani (suaminya) mangkat. Ratu Safiatuddin memimpin kerajaan Aceh lebih lama dibandingkan dengan para Sultan sebelum dan sesudahnya. Bertahannya dengan waktu yang lama kepemimpinan para Sultanah karena mereka sangat menghargai seluruh komponen dalam masyarakat Aceh dan mengutamakan konsep kesetaraan gender. Disamping itu, para ulama dilibatkan menjadi penasehat istana.

Peran perempuan-perempuan dimasa kerajaan Aceh dahulu sangatlah menonjol. Kebangkitan perempuan Aceh untuk menjadi pemimpin kerajaan, disamping kecerdasannya, berani, mempunyai jiwa leadership yang bagus, dan juga diterima oleh rakyat--terutama kerabat kerajaan.

Pada waktu itu, tidak ada perdebatan yang menghalangi bahwa perempuan tidak bisa untuk memimpin negara. Setelah Ratu Safiatuddin berkuasa, kerajaan Aceh masih mengandalkan perempuan untuk memimpin negara. Seperti; Ratu Nurul Alam (berkuasa tahun 1675-1678 M), Ratu Inayat Zakiatuddin (1678-1688 M) dan Ratu Kumalat Zainatuddin (1688-1699 M).

****
Di era kemerdekaan yang sudah sangat modern sekarang ini, peran perempuan Aceh tidak begitu tampak menonjol dan sangatlah kecil untuk dapat bertarung di wilayah publik, terutama di arena politik. Kondisi ini tidak mencerminkan jiwa pendahulu mereka yang sangat tangguh dan berani menghadapi tantangan. Kesan bahwa perempuan adalah saf kedua setelah pria masih mempengaruhi pola pikir mereka sehingga untuk maju lebih kedepan merupakan sebuah sandungan. Padahal, tingkat kecerdasan, pendidikan dan wawasan perempuan Aceh sudah meningkat tinggi dan mampu menyamai kaum pria.

Memang, diskriminasi dan persamaan hak masih menjadi kendala bagi perempuan untuk berkiprah di jalur utama. Karena, kaum pria masih mengandalkan dirinya sebagai pemeran utama dan perempuan hanyalah figuran untuk mengisi peran-peran yang tidak begitu penting. Akibatnya, kaum perempuan tidak mampu melatarbelakangi dirinya dengan sejarah kerajaan Aceh tempo dulu, bahwa perempuan merupakan figur yang tidak pernah diperdebatkan untuk menjadi pemimpin. Bahkan Raja (kerabat kerajaan) waktu itu lebih mempercayakan perempuan untuk mengisi jabatan strategis di dalam kabinetnya.

Di dalam struktur pemerintahan Aceh saat ini, jabatan kepala; baik di bidang/bagian, apalagi kepala dinas/badan, posisi perempuan bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Jika pun ada, itu hanya lembaga yang berhubungan langsung dengan kaum perempuannya. Ironi, di lembaga dewan/parlemen Aceh, jerit perempuan nyaris tidak terdengar untuk mensuarakan nurani rakyat. Sehingga aspirasi kaum hawa sering terabaikan di ruang sidang yang dihuni mayoritas pria.

Ketika Nanggroe Aceh terlepas dari derita panjang akibat konflik dengan disepakatinya nota kesepahaman perdamain antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005 silam. Geliat perempuan Aceh mulai terlihat dan muncul kepermukaan dalam wadah partai politik lokal. Mereka mendirikan Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan ( PARA ), yang mengusung dasar-dasar kesetaraan gender serta maksud memperjuangkan aspirasi perempuan di jalur politik. Namun, sangat disayangkan, dalam usahanya untuk melangkah ke pemilu 2009 ternyata gagal oleh aturan persyaratan yang ditetapkan panitia verifikasi (KIP Aceh).

“Perempuan memang belum saatnya berpolitik praktis”. Itu bukan kata bijak dari orang-orang yang bijaksana. Tapi sebuah bentuk ketakutan dari sebagian orang yang masih menganggap bahwa perempuan akan melangkahi dan melebihi pengaruh pria. Ratu Nahrasiah telah merintis konsep kesetaraan gender dimasa kepemimpinannya di kerajaan Samudra Pasai pada abad ke 15. Peran perempuan disamakan dengan pria dalam jabatan di pemerintahannya.

Perempuan adalah tetap ibu yang melahirkan anak-anaknya. Dan tidak berarti bahwa perempuan harus menutup wawasannya serta potensi yang dimilikinya untuk dikembangkan. Sebab, roda jaman terus berputar dan selalu mengalami perubahan. Semoga perempuan Aceh dapat mengukir lagi sejarah para Sultanah sebagai pemimpin kerajaan Aceh saat itu untuk di abadikan kembali di masa kini.
http://klubhelvy.multiply.com

1 komentar:

Anonim mengatakan...

menarik melihat perempuan dari sisi ini krn banyak "kerancuan sejarah" tentang awal kejatuhan sebuah kerajaan, mungkin masih ingat pelajaran Sejarah SMP, tentang mulai lunturnya kejayaan masa kesultanan Aceh setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda, yaitu masa Aceh mulai dipimpin oleh seorang Sultanah, (padahal jika beliau bukan pemimpin yang tangguh tak mungkin beliau dapat bertahta lebih lama dari sultan aceh manapun). Mengingatkan juga pada Empress Orchid di China saja, beliau merupakan Penguasa terlama negerinya walau di hujat sebagai awal kehacuranan kemaharajaannya... semoga suatu hari nanti sejarah akan lebih banyak bercerita tentang perempuan-perempuan hebat dari berbagai masa.

Hesa Wahid