Senin, 11 Januari 2010

Ngeblog yukk

Bismillahirrahmanirrahim

Saya copy dari sini

assalaamu’alaikum wr. wb.

Saya tahu beliau orang sibuk. Selain menjabat sebagai Humas DPP PKS, beliau juga Humas-nya FPKS di DPR. Oleh karena itu, saya tidak banyak berharap ketika mengirimkan private message melalui account Facebook-nya. Maksudnya, mau dijawab pekan depan pun tak mengapalah. Tapi ternyata jawabannya sangat cepat. Sore itu saya kirim, malamnya sudah ada jawaban.

“Thayyib. Ayo kita ketemuan. Saya insya Allah sabtu lusa ada di Bogor.”

Pukul empat sore hari Sabtu itu, saya sudah menunggu di Masjid Ar-Rahman. Masjid yang sudah cukup lama tidak saya kunjungi, dan ternyata semakin rapi saja. Kira-kira setengah jam kemudian, yang ditunggu-tunggu pun tiba. Agak pangling, karena penampilannya tidak biasa. Kaca mata yang biasa dikenakannya tidak ada, berganti dengan lensa kontak.

Di salah satu kedai di jajaran Masjid Ar-Rahman itu, kami memesan kopi, teh manis, pisang dan roti bakar, sekedar untuk cemilan. Di kedai itu, beliau sudah seperti di rumah sendiri. Jajaran kedai di Jl. Bangbarung adalah hasil dari pemberdayaan komunitas yang telah dirintisnya dahulu. Hasilnya, selain kedai-kedai itu, adalah terbitnya koran komunitas Berita Tegalgundil (BT) dan radio komunitas. Semuanya digerakkan oleh anak-anak muda di Kelurahan Tegalgundil.

Setelah menerima pesanan kami, pemilik kedai langsung ikut mengobrol, menanyakan beberapa hal terkait isu-isu yang berkembang belakangan ini. Tentu saja, di Bogor, isu paling panas seputar PKS adalah tentang anggota dewan yang ditangkapi dengan tuduhan korupsi, termasuk anggota dewan dari PKS. Dari tiga anggota DPRD dari PKS periode 1999-2004, satu sudah dibui, satu sedang menjabat sebagai Wakil Walikota (dan karenanya tak bisa diperiksa tanpa ijin Presiden), dan satunya lagi konon buron.

Kasusnya sendiri sebenarnya cukup menggelikan, karena Jaksa menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) yang telah dinyatakan tak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus serupa di Padang, beberapa waktu yang lalu. Berdasarkan PP yang sudah tidak berlaku itu, tunjangan yang diterima oleh para anggota dewan dianggap korupsi. Aksi koboi sang jaksa ini diperparah dengan dijebloskannya para mantan anggota dewan tersebut ke LP Paledang, padahal proses pengadilannya belum lagi berjalan. Media massa pun langsung menjatuhkan vonis. Sedemikian parahnya, sehingga ust. Nuruzzaman yang tengah terbaring di rumah sakit pun dianggap buron. Padahal semua orang tahu kondisi kesehatan beliau yang memang sering keluar-masuk rumah sakit. Saya ingat beberapa waktu yang lalu, surat kabar di Bogor bahkan mengedarkan karikatur beliau dengan wajah yang dibuat-buat sehingga nampak licik, lengkap dengan skenario pelarian beliau hingga ke Sumatera. Saya pun ingat betapa banyaknya tunjangan yang diterima oleh anggota dewan dari PKS pada periode 1999-2004 yang ‘disulap’ menjadi kegiatan-kegiatan yang dinikmati langsung oleh masyarakat. Sekarang, mereka pula yang harus menanggung beban tuduhan sebagai koruptor.

Itu hanyalah sebagian kecil masalah public relation yang dihadapi oleh PKS. Kenyataannya, media massa begitu sensitif pada PKS, sehingga setiap masalah selalu dibenturkan dengan anggota dewan, tokoh atau menteri dari PKS.

Contoh kasus yang paling baru adalah masalah mobil mewah yang diberikan untuk para menteri. Semua mata menyorot pada menteri-menteri PKS, dan bukan yang lain. Media seolah tak peduli pada fakta bahwa fasilitas tersebut telah dianggarkan oleh Sekretariat Negara pada periode sebelumnya. Seharusnya, tuntutan pengembalian mobil mewah dialamatkan kepada Mensesneg sebelumnya, atau minimal pada Mensesneg yang sekarang menjabat. Sebaliknya, media justru mencap para menteri (khususnya dari PKS) sebagai pemimpin yang tidak sensitif pada penderitaan rakyat. Padahal, tidak ada mekanisme bagi para menteri untuk mengembalikan mobil-mobil tersebut, atau menggantinya dengan mobil lain yang jauh lebih murah.

Masalah tersebut dirasakan langsung dampaknya oleh Menkominfo, ust. Tifatul Sembiring. Semua orang menanyakan soal mobil mewah pada beliau, padahal pengadaan mobil itu tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Sementara mobil warisan Menkominfo sebelumnya sudah rusak parah, masyarakat sudah terlanjur marah dengan mobil baru. Akhirnya mobil lama tak dipakai, mobil baru tak diambil. Semua orang berteriak mubadzir, padahal mobil mewah itu akan semakin mubadzir jika tak dipakai. Alangkah baiknya mobil-mobil mewah itu dijual kembali kepada para pengusaha, misalnya, kemudian para menteri diberi kendaraan dinas yang 200-jutaan. Tapi itu semua adalah wewenang Presiden dan Mensesneg, bukan Menkominfo.

Masalah public relation inilah yang mempertemukan kami sore itu. Struktur DPP sudah kewalahan menghadapi penggalangan opini yang semakin liar, ditingkahi sikap sebagian kader yang begitu polos dan cinta pada kebenaran, sehingga kadang-kadang juga begitu mudah untuk diprovokasi.

Sebagai blogger, saya mengerti bahwa tidak semua orang ditakdirkan untuk menjadi penulis. Kebanyakan blogger adalah mahasiswa, pegawai kantoran, atau ibu rumah tangga. Kecuali mahasiswa, kebanyakan tidak punya waktu untuk terlibat dalam struktur, namun jelas punya waktu dan kemampuan yang cukup untuk menulis. Kebutuhan struktur akan penggalangan opini inilah yang hendak saya pertemukan dengan kebutuhan kader-blogger untuk melibatkan diri dalam perjuangan partai. Jika Humas DPP kehabisan tenaga, maka ada sekian banyak ikhwah blogger yang sebenarnya sudah siap berdiri di belakangnya. Salah satu manfaat penting dari kerja sama apik ini adalah terungkapnya jawaban dari setiap isu yang membuat hati kader resah selama ini. Ini cuma soal pembagian tugas.

Alhamdulillaah, gagasan yang sudah lama mengendap ini mendapat dukungan penuh. Lampu hijau sudah dinyalakan, sekarang tinggal tancap gas!

Tidak ada komentar: