Selasa, 04 Agustus 2009

Ibu Rumah Tangga = Ribet?????

Ibu Rumah Tangga, dulu ketika mendengar istilah ini yang terbayang adalah sekelompok ibu-ibu yang tak punya kerjaan, hobinya kumpul-kumpul dan menggosip. Pokoknya kerjaan yang nggak banget deh. Hehehe...sadis amat ya ^_^ pengaruh masa kecil yang lumayan jelek nih, punya tetangga yang hobi kumpul tiap sore, kalo anaknya berantem, emaknya juga ikutan ribut. Anaknya sudah tertawa bersama lagi, emaknya masih bawa parang (serius...ini beneran terjadi ).

Seiring berjalannya waktu, persepsi saya tentang ibu rumah tangga berubah. Melalui kajian-kajian dan seminar-seminar yang saya ikuti, saya memahami bahwa ibu rumah tangga adalah suatu pekerjaan yang teramat mulia. Sebab ibulah sekolah pertama sang anak untuk menjalani kehidupannya kelak. Dan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga perlu ilmu dan wawasan yang luas. Sama halnya seperti pekerjaan lain.

Namun kini menjadi sebuah dilema bagi saya. Benarkah menjadi seorang ibu rumah tangga berarti tidak bisa melakukan hal-hal lain karena sudah ribet dengan urusan suami dan anak? Apakah menjadi seorang ibu rumah tangga berarti sudah tidak dapat diganggu lagi untuk urusan dakwah ataupun sosial? Ibu rumah tangga, yang notabene seorang istri, tidak dapat pergi keluar rumah tanpa sang suami yang mengantar? Sudah tidak bisa lagi menjadi seorang pembicara karena tidak sempat lagi mempelajari materinya?

Sedih dan kesal, ketika mendengar seorang teman yang tidak bisa hadir dalam suatu agenda dakwah karena sang suami tidak bisa mengantarkan. Kecewa, saat sahabat lain menolak menjadi petugas bedah buku dengan alasan ribet mengurus anak. Sakit hati saat hampir semua teman seangkatan ’menghilang’ tatkala telah menikah.

Ukhuwah pun terasa sekedarnya saja. Saya akui, iman saya lah yang lemah. Sebagaimana tulisan Salim. A. Fillah, bukan ukhuwah yang hilang, tetapi iman lah yang sedang menurun. Tetapi, tidak boleh kah saya merasa merasa kesepian?

Betapa kagumnya saya pada seorang ibu (ummahat) berprofesi guru, yang tak hanya mengurus 8 orang anaknya tetapi juga mengasuh beberapa majelis ta’lim. Ummahat lain (sedang hamil anak ke-11) saat menemani suami reses, masih sempat mengkoordinir pengurus di suatu organisasi perempuan. Acungan jempol untuk seorang ummahat muda (dengan dua anak, yang masih menyusui) begitu gesit dan lincah menjadi panitia suatu acara, sementara ummahat muda lainnya hanya menjadi tamu. Juga kepada ummahat-ummahat lain, meskipun anaknya masih kecil-kecil, yang tidak menolak tugas-tugas yang dibebankan padanya.

Dalam pemahaman saya, beginilah sosok ibu rumah tangga seharusnya. Tidak hanya mengurus suami dan anak saja, tetapi juga amanah-amanah dakwah. Lantas mengapa para aktivis dakwah tersebut lebih banyak menghilang ketika telah menikah? Saya mendapatkan jawabannya dari seorang ummahat yang masih aktif dalam setiap agenda dakwah, walaupun beliau telah mempunyai dua orang anak dan terikat pada instansi pemerintah. BISA ATAU TIDAK BISA AKTIF ITU TERGANTUNG PADA HATI. Benar juga, saat ini tugas-tugas yang diberikan pada saya serasa beban, karena hati yang merasa berat dan level iman yang rendah. Saya berharap, ketika kelak telah menikah saya tak lantas menghilang. Dakwah akan tetap berlangsung ada ataupun tidak ada kita, namun sungguh rugi jika kita tidak terlibat di dalamnya.

teruntuk shabatku dan saudara seperjuanganku, barakallahu laka wa baraka'alaika wa jama'a bainakuma fii khoiir
semoga pernikahan kalian adalah 1+1 sama dengan 4 bukan 1+1 sama dengan 0

Tidak ada komentar: