Nikah, satu kata yang dimaknai dengan banyak arti, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Namun bukanlah definisi nikah itu yang ingin kuceritakan di sini karena telah banyak penulis yang membahasnya. Hanya ingin menceritakan perasaan terhadap kata satu itu.
Ketika masih umur belasan tahun, yang terbayang tentang nikah adalah hal-hal yang penuh keindahan, bunga-bunga bertaburan di mana-mana, bintang berkelap-kelip, kembang api berwarna-warni. Persis seperti cerita Cinderela dan Prince Charming. Benar-benar indah belaka. Happily Ever After. Tidak pernah terbersit sedikitpun ombak dan riak yang akan mengayun bahtera.
Seiring waktu, ketika kuliah bertemu dengan berbagai karakter dari berbagai daerah se-nusantara. Bayangan tentang nikahpun mengalami perubahan. Dari cerita, pengalaman ataupun obrolan teman-teman (yang sebagian besar kudengarkan sambil lalu), nikah sepertinya tak lebih dari pemuasan biologis saja. Jika demikian, kenapa mesti repot melalui proses yang cukup berbelit-belit hanya untuk melegalkan seks ? Meskipun atas nama cinta, toh ujung-ujungnya itu juga. Benar-benar tak bisa kutemukan jawabannya. Karena itu, kata tersebut kusimpan ditempat yang sangat jauh, terkunci rapat-rapat. Jika hanya untuk seks, bukankah bisa dilakukan tanpa nikah sebagaimana dilakukan pemuda jaman sekarang ? Sebenarnya banyak buku yang membahas tentang nikah, bernuansakan islami ataupun tidak. Namun karena tak ingin pusing, setiap buku yang bertemakan dan berjudul nikah tak pernah singgah ditanganku.
Lalu ketika jiwa tersentuh tarbiyah, pelan-pelan mulai kupahami tujuan nikah. Sangat pelan memang, padahal para murabbi telah menjelaskan dengan penuh semangat. Seseorang yang telah memilih jalan ini, hendaklah menjadikan pernikahannya sebagai ladang dakwah, tempat mencetak generasi rabbani, yang nantinya akan membawanya menuju Allah, Insya Allah. Kala itu, kuambil kotak penyimpanan “nikah” dan kubiarkan terbuka.
Kini, 26 tahun sudah usiaku. Setahun telah lewat dari usia yang dianggap matang. Satu persatu kuterima undangan, teman nun jauh di
Jika mereka di masa lajang memiliki kontribusi yang luar biasa dalam dakwah, masih menghilang ketika menikah, bagaimana denganku nanti ?? Akankah aku tetap dalam barisan atau justru lenyap tanpa bekas bak kabut, mengingat kontribusiku yang sangat minim pada dakwah ini? Hanya Allah yang mengetahui jawabnya.
3 komentar:
ass...
salam kenal
Menikah memang ga hanya sesimpel untuk melegalkan sex tapi juga ga ga rumit-rumit amat...
bagus banget tulisannya ukhti, analisanya tajam
Kontribusi dakwah.
Hm...
Orang bijak bilang "kehebatan seseorang bukan pada lamanya ia berkecimpung dalam dakwah, tp seberapa banyak kontribusi yang diberikan dengan hati yang Ikhlas". kontribusi itu bisa trus, truus dan truuus diberikan dengan komitmen yang kuat dan keyakinan bahwa dakwa takkan pernah MAATI!
Memberikan kontribusi gak hanya dengan kita pergi ke sani-sini, kerumah si itu, ke kota ini. Caranya? kitakan punya binaan dan adik2 penerus generasi? Kita bina dan tuntun mereka, dengan semangat dakwah dan kalau perlu, sediakan keperluan financial mereka...
Ya... minimal transferkan pulsa graatizzz. Wallaahu 'aalam
to anonim, coba tinggalin alamat atawa nomor hape, jadi bisa ane transfer pulsa, tapi tetep bayar boo
(ciri khasnya pedagang pulsa :))
Posting Komentar