Rabu, 31 Desember 2008

Dua Doa Untuk Palestina

assalaamu’alaikum wr. wb.


Menarik dan kadang-kadang memilukan, milis-milis kini penuh dengan berita tentang Palestina. Berita aktual tentang keadaan Palestina, terutama Jalur Gaza, bisa diakses dimana-mana. Yang seru justru perdebatan mengenai cara menyikapi kondisi di negeri itu. Entah bagaimana, umat Islam pun terbelah dalam menentukan sikap.


Mayoritas umat Islam tentu mengutuk keras kebiadaban pasukan Zionis belakangan ini. Tapi ada sebagian kecil orang yang malu-malu menentukan sikap (barangkali karena takut disebut sebagai manusia tak berperasaan). Mereka juga menyayangkan kelakuan (baca : kebinatangan) kaum Zionis, namun dengan berbagai embel-embel. Gus Dur, misalnya, sebagaimana Presiden Palestina sendiri, berpendapat bahwa HAMAS perlu mencari garis perjuangan yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan, agar tidak dijadikan alasan oleh pihak Zionis untuk mengadakan serangan balasan. Sebagian pihak yang lain mengaku prihatin dengan keadaan di Palestina, namun menganggap bahwa keinginan umat Islam Indonesia untuk aktif membela Palestina adalah sangat tidak realistis, karena kondisi umat di tanah air pun masih awut-awutan.


Gus Dur bersama rekannya, Mahmud Abbas, agaknya tidak mengerti bahwa serangan kaum Zionis tidak ada urusannya dengan ‘balas-membalas’. Berbagai perjanjian dibuat, dan yang melanggarnya selalu sama. Kalau pun harus ada yang membalas, maka rakyat Palestina-lah yang paling berhak melakukannya, apalagi jika kita mempertimbangkan sebagian besar tanah mereka dirampas secara semena-mena oleh warga pendatang.



Gus Dur, Mahmud Abbas, dan semua orang yang tidak merasa risih bersikap mesra dengan Zionisme Internasional perlu berkenalan dengan sosok Rachel Corrie. Rachel Corrie adalah mahasiswi dari sebuah universitas di Olympia, Washington. Ia lahir pada tahun 1979, dan pada usia yang masih sangat muda telah menjadi aktifis perdamaian. Pada tahun 2003, ia mati digilas buldoser oleh tentara Zionis.


Bagi yang punya daya imajinasi cukup canggih, silakan renungkan sendiri apa yang dialami oleh gadis ini. Ia terlibat aktif dalam aksi-aksi perdamaian di Palestina. Suatu hari, ia menghalangi buldoser Zionis yang hendak menggusur sebuah rumah milik warga Palestina. Apakah pengemudi buldoser itu merasa ragu karena dihadang oleh seorang aktifis warga negara sekutunya, yaitu AS? Ternyata tidak! Buldoser itu maju dan menggilas Rachel tanpa ampun, kemudian mundur kembali seolah sengaja hendak menggilasnya dua kali. Bisa ditebak, dada dan tengkoraknya remuk, begitu juga tulang-tulang di bagian lain di tubuhnya. Rachel Corrie masih sanggup bertahan beberapa lama dan dibawa ke rumah sakit, namun akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di sana. Itulah yang diperbuat oleh kaum Zionis kepada warga negara sekutunya. Jangan tanya apa yang akan mereka lakukan pada musuh-musuhnya!


Mereka yang berpikiran “lebih baik mengurusi negara sendiri yang belum mapan sebelum mengurusi negara lain” kedengarannya memiliki ide yang sangat realistis, namun sebenarnya sangat lemah. Dalam bukunya yang beredar di Indonesia dengan judul Fikih Prioritas, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa mengumpulkan dana untuk Palestina sifatnya sangat urgent, karena nyawa mereka benar-benar terancam. Sesungguhnya, pergi berhaji tidaklah urgent, karena ibadah itu bisa ditunda di tahun-tahun berikutnya. Kalau saja semua orang berpikiran demikian, dan mengumpulkan tabungan hajinya untuk mengusir penjajah Zionis, barangkali Palestina sudah merdeka sejak bertahun-tahun yang lalu.



Prinsip “mapan dulu, baru membantu orang lain” juga pada prakteknya tidak realistis. Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk membantu orang lain kalau sudah mapan. Mapan atau belum mapan, ada bagian dari harta kita yang merupakan hak orang yang lebih membutuhkannya. Lagipula, sifat murah hati adalah sifat yang harus dilatih terus-menerus. Biasanya, orang yang sudah mapan akan cenderung lupa diri dan lupa membantu orang yang kesusahan. Orang yang membiasakan diri menjadi dermawan ketika susah pun bisa lupa daratan ketika sudah sukses, apalagi mereka yang tidak membiasakan diri.


Bagaimana pun, keinginan menggebu-gebu untuk menolong rakyat Palestina cepat atau lambat akan terbentur pada sebuah pertanyaan : apa yang bisa kita perbuat? Mengirim senjata atau tentara rasanya sulit, karena kiriman itu bisa jadi akan dicegat oleh AS dan sekutu-sekutunya sebelum sampai ke daratan Palestina. Jangankan AS, Mesir pun enggan bermurah hati membuka garis perbatasan. Mengirimkan perbekalan dan obat-obatan sudah dilakukan, itu pun seringkali terhambat oleh sikap negara-negara tetangga (dan tentunya kaum penjajah juga) yang tidak mau membuka jalan. Ujung-ujungnya, banyak yang mengatakan bahwa yang bisa dilakukannya hanya memberi bantuan uang, atau bahkan hanya sekedar doa.


Baiklah, kalau memang hanya bisa menyumbang doa, insya Allah itu pun tak mengapa. Tapi doa yang seperti apakah?



Kondisi Palestina memang memilukan, dan doa yang tersebar pun biasanya menunjukkan rasa pilu dalam hati. Tidak ada yang salah, karena setiap Muslim memang seharusnya merasa pilu melihat saudara seimannya menderita. Dalam suasana pilu itu, kebanyakan orang mendoakan keselamatan umat Islam Palestina, ketabahan hati mereka yang ditinggalkan oleh anggota keluarganya, dan agar amal ibadah para syuhada diterima di sisi-Nya.



Mungkin ada baiknya kita menambahkan dua jenis doa lainnya untuk melengkapi doa semacam yang di atas. Umat Islam Palestina telah membuktikan ketangguhannya. Mereka mampu survive dari salah satu penjajahan paling sadis yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia yang telah berlangsung puluhan tahun. Ketabahan hati sudah pula mereka tunjukkan. Adapun diterimanya amal ibadah para syuhada, itu sudah dijamin oleh Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu kala. Kita tidak perlu mengkhawatirkan para syuhada, karena kondisi mereka jauh lebih baik daripada kita yang belum tentu mendapat gelar syahid.


Yang kurang adalah ketegasan sikap. Banyak diantara kita yang masih mendoakan perdamaian di Palestina, dalam arti munculnya perdamaian antara umat Islam dengan kaum Zionis. Inilah yang terlalu mengada-ada, karena kaum Zionis memang tak pernah menginginkan perdamaian. Bahkan umat Yahudi yang menentang Zionisme pun berpendapat bahwa ideologi Zionisme hanya akan menimbulkan pertumpahan darah yang abadi. Selama masih ada Zionisme, takkan ada perdamaian. Rakyat Palestina pun tidak berharap akan hidup damai dengan pihak penjajah. Mereka ingin kaum Zionis pergi. Karena itu, bukan perdamaian (dalam arti berdamai dengan Zionis) yang harus didoakan, melainkan hancurnya Zionisme Internasional. Konkretnya, slogan “save Palestine” semestinya dilengkapi dengan slogan “destroy Zionism!”, karena Palestina takkan hidup tenang selama Zionisme masih ada. Salah satu diantara mereka harus lenyap dari muka bumi, dan umat Islam semestinya tak bingung menentukan pihak mana yang harus dienyahkan.


Hal kedua yang harus kita ikut sertakan dalam doa kita adalah hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu agar Allah SWT membuka hati saudara-saudara kita di Timur Tengah. Dalam sebuah bukunya, M. Natsir pernah mengatakan bahwa kaum Zionis bisa menang karena mereka satu, dan umat Islam kalah karena berbilang. Sungguh ironis jika Palestina harus bersimbah darah hanya karena negara tetangga tak mau membuka perbatasan agar rakyat Palestina bisa menyelamatkan diri, atau negara-negara Islam menutup perbatasan bagi para mujahid yang ingin membantu, atau negara-negara juragan minyak yang kaya raya yang hanya bisa menyampaikan salam keprihatinan, atau excuse murahan seperti “Negeri sendiri belum mapan, buat apa mengurusi negara lain?”, dan alasan-alasan konyol lainnya. Paling tidak, jika memang rakyat Palestina mesti berjuang sendirian, umat Islam lainnya tak perlu menjadi penonton yang banyak berapologi, apalagi menghalang-halangi perjuangan mereka.


wassalaamu’alaikum wr. wb.



http://akmal.multiply.com

Tidak ada komentar: